Riwayat RA Kartini Sebelum dan Sesudah Hijrah dalam Pemikiran Islam
Sebelum Hijrah: Kartini dan Dunia yang Membelenggu
RA Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga bangsawan Jawa. Sebagai seorang priyayi, Kartini memiliki hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Belanda hingga usia 12 tahun. Namun setelah itu, ia harus menjalani tradisi pingitan, di mana seorang gadis bangsawan tidak diizinkan keluar rumah hingga dinikahkan.
Situasi ini sangat memukul jiwa dan pikirannya. Kartini merasa terkekang—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara intelektual dan emosional. Ia mulai menulis surat-surat kepada sahabatnya di Belanda, seperti Rosa Abendanon dan Estelle Zeehandelaar. Dalam surat-surat tersebut, tergambar jelas keresahan dan kritik tajamnya terhadap ketimpangan sosial, khususnya perlakuan terhadap perempuan pribumi.
Kartini saat itu juga merasa kecewa terhadap ajaran agama yang ia pahami secara terbatas. Ia pernah menulis, “Agama sering digunakan untuk menghalangi perempuan memperoleh pendidikan dan kebebasan.” Namun, pernyataan ini muncul karena keterbatasan akses Kartini terhadap pemahaman Islam yang utuh. Ia hanya menerima Islam melalui tafsir lisan yang dibatasi oleh budaya kolonial dan adat.
Pemikiran Kartini pada fase ini sangat dipengaruhi oleh rasionalisme Eropa, terutama gagasan kesetaraan dan kebebasan individu. Namun, di balik pemikirannya yang modern, tersimpan kegelisahan spiritual yang terus tumbuh.
Setelah Hijrah: Kartini dan Cahaya Islam yang Mencerahkan
Titik balik spiritual Kartini dimulai ketika ia berinteraksi dengan KH Soleh Darat, ulama besar dari Semarang yang juga guru dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. KH Soleh Darat menghadiahkan tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa kepada Kartini, karena ia tahu bahwa Kartini sangat ingin memahami isi Al-Qur’an secara langsung.
Salah satu tafsir yang sangat membekas bagi Kartini adalah penjelasan tentang Surat Al-Baqarah ayat 257, yang berbunyi:
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya…"
Ayat ini menyentuh relung hati Kartini. Ia mulai memahami bahwa Islam bukan sekadar ritual atau tradisi, tapi cahaya yang membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, penindasan, dan ketidakadilan.
Sejak saat itu, Kartini mengalami hijrah pemikiran. Ia tidak lagi melihat Islam dari kacamata kolonial, melainkan dari nilai-nilai aslinya: ilmu pengetahuan, keadilan, penghargaan terhadap perempuan, dan kasih sayang. Ia menulis bahwa perempuan harus berilmu karena ia adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya, dan bahwa Islam memuliakan perempuan sebagai pilar peradaban.
Kartini juga mengubah pendekatan perjuangannya. Dari semula hanya ingin kebebasan lahiriah, menjadi lebih dalam: membangun perempuan yang kuat secara ruhani, cerdas dalam berpikir, dan berakhlak mulia.
Makna Hijrah Kartini bagi Perempuan Masa Kini
Hijrah Kartini bukan hanya sejarah pribadi, tapi cermin bagi perempuan zaman ini. Bahwa menjadi muslimah yang kuat tidak harus meninggalkan nilai-nilai keislaman. Justru dengan pemahaman Islam yang benar, perempuan akan menemukan jati dirinya—berdaya, terhormat, dan berkualitas.
Hijrah Kartini menunjukkan bahwa proses pencarian kebenaran adalah bagian dari fitrah manusia. Dan saat seseorang menemukan cahaya keimanan, seluruh cara pandangnya akan berubah, menjadi lebih bijak dan utuh.